BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 2 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
|
(2)
|
Setiap Wajib Pajak sebagai
Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(3)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan:
|
|
|
a.
|
tempat pendaftaran dan/atau
tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2);
dan/atau
|
|
b.
|
tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak
orang pribadi pengusaha tertentu.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak
secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
(2).
|
|
(4a)
|
Kewajiban perpajakan bagi Wajib
Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(5)
|
Jangka waktu pendaftaran dan
pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(6)
|
Penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
|
|
|
a.
|
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
|
|
b.
|
Wajib Pajak badan dilikuidasi
karena penghentian atau penggabungan usaha;
|
|
c.
|
Wajib Pajak bentuk usaha tetap
menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
|
|
d.
|
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor
Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak
orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
|
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak karena
jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(9)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib
Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self
assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Persyaratan subjektif adalah
persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah
persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau
diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri
tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah
karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara
tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut
di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas
namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak
tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada
setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu,
Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal
berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan
Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai
Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi
berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha
dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya
tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha
orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah
beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak
yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk
pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah
memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun
Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor
Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2),
sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu,
bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya
pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di
samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri
dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak
ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam
penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena
Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan
subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap
Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun
Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan
hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban
perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk
memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal
ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak
terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut,
tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan
dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 2A (UU No. 28 Tahun 2007)
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
Penjelasan Pasal 2A
Cukup jelas.
Pasal 3 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin,
angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya
ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|
(1a)
|
Wajib Pajak yang telah mendapat
izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang
selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(1b)
|
Penandatanganan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan
stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai
kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain
yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
|
(3)
|
Batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan adalah:
|
|
|
a.
|
untuk Surat Pemberitahuan Masa,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
|
|
b.
|
untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga)
bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
|
|
c.
|
untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak.
|
(3a)
|
Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu)
Surat Pemberitahuan Masa.
|
|
(3b)
|
Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(3c)
|
Batas waktu dan tata cara
pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara
pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
|
(4)
|
Wajib Pajak dapat memperpanjang
jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan
cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada
Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(5)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang
terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti
pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(5a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak
disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas
waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
|
|
(6)
|
Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan
serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang
digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(7)
|
Surat
Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
|
|
|
a.
|
Surat Pemberitahuan tidak
ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
|
|
b.
|
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
|
|
c.
|
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3
(tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
|
|
d.
|
Surat Pemberitahuan disampaikan
setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat
ketetapan pajak.
|
(7a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan
dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur
Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.
|
|
(8)
|
Dikecualikan dari kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan
tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan
bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang:
a.
|
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak;
|
b.
|
penghasilan yang merupakan objek
pajak dan/atau bukan objek pajak;
|
c.
|
harta dan
kewajiban; dan/atau
|
d.
|
pembayaran
dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang
pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi
Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
a.
|
pengkreditan Pajak Masukan
terhadap Pajak Keluaran; dan
|
b.
|
pembayaran atau pelunasan pajak
yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui
pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
Bagi
pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkannya.
Yang
dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan
benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud
dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a.
|
benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
|
b.
|
lengkap adalah memuat semua
unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
|
c.
|
jelas adalah melaporkan asal-usul
atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan.
|
Surat Pemberitahuan yang telah
diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau
tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban
penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan
untuk setiap Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan
pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan
disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain
yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau
oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat
Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat
Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk
memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan
Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini
mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap
cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk
beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang
wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus
paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus
dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai
batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
|
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila
Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf
b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi
batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah
ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Untuk mencegah
usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang
dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat
pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin
memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan
tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara dengan
menyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan
sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran
Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan
jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka
pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah
ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib
Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat
fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan
pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan, dokumen
yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah
penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban
di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus
dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta
keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak,
jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang
ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur
keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib
Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang
dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi
Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut
dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian
juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah
melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan
tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pada
prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri
Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Pasal 4 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Wajib Pajak wajib mengisi dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan
menandatanganinya.
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Wajib Pajak
badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk
seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani
Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan.
|
(4)
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
|
(4a)
|
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan
keuangan dari masing-masing Wajib Pajak.
|
(4b)
|
Dalam hal laporan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak
lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
|
(5)
|
Tata cara
penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud
dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil
kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan
PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan
keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan
atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib
melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Tata cara
penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara
lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat
Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan
tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 5 (UU No. 6 Tahun 1983)
Untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan
tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Penjelasan Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang
ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
|
(2)
|
Penyampaian Surat Pemberitahuan
dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Tanda bukti dan tanggal pengiriman
surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat
Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
|
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka
peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti
dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos
atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan
dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Pasal 7 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan
penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi.
|
|
(2)
|
Pengenaan
sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan terhadap:
|
|
|
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang
telah meninggal dunia;
|
|
b.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang
sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
|
|
c.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang
berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
|
|
d.
|
Bentuk Usaha Tetap yang tidak
melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
|
|
e.
|
Wajib Pajak badan yang tidak
melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
|
|
f.
|
Bendahara yang tidak melakukan
pembayaran lagi;
|
|
g.
|
Wajib Pajak yang terkena
bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
|
|
h.
|
Wajib Pajak lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk
kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah
bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 8 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
|
(1a)
|
Dalam hal pembetulan Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih
bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua)
tahun sebelum daluwarsa penetapan.
|
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi
lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak
saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2a)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih
besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(3)
|
Walaupun telah dilakukan tindakan
pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya
ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan
dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar.
|
|
(4)
|
Walaupun Direktur Jenderal Pajak
telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang
dapat mengakibatkan:
|
|
|
a.
|
pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih
kecil;
|
|
b.
|
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih
besar;
|
|
c.
|
jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
|
|
d.
|
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
|
|
dan proses
pemeriksaan tetap dilanjutkan.
|
|
(5)
|
Pajak yang kurang dibayar yang
timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
disampaikan.
|
|
(6)
|
Wajib Pajak dapat membetulkan
Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak
sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
|
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam
pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih
berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan
"mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa
penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah
pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah
dari jumlah semula.
Atas
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas
kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan "1
(satu) bulan" adalah jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan,
misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang
dimaksud dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak
mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan
penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah
mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima
puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan
dilakukan penyidikan.
Namun,
apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut
diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun
Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan
surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum
membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat
berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau
masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang
sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan
kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
sampai selesai.
Ayat (5)
Atas
kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak
sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap
dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan
ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran
pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan
dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas
suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi
fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun
berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal
sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan
Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan
tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib
Pajak atas kompensasi kerugian. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat
Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak
mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya,
yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur
Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak.
Untuk
Jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp200.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007
sebesar
|
Rp150.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak sebesar
|
Rp
50.000.000,00
|
Terhadap Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6
Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal
sebesar Rp70.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan
Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto
|
Rp200.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007
|
Rp 70.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp130.000.000,00
|
Dengan demikian penghasilan
kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00
(Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi
Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp300.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007
sebesar
|
Rp200.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak sebesar
|
Rp100.000.000,00
|
Terhadap Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6
Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal
sebesar Rp250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan
Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto
|
Rp300.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007
|
Rp250.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 50.000.000,00
|
Dengan
demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula
Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan
menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00).
Pasal 9 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis
pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak.
|
(2)
|
Kekurangan pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus
dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
|
(2a)
|
Pembayaran atau penyetoran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(2b)
|
Atas pembayaran atau penyetoran
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
|
(3a)
|
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan
Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak atas
permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran
dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini
mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai
berikut:
Angsuran masa
Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan.
Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan
tanggal 19 Juni 2008. Apabila pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan
sebagai berikut :
1 x 2% x
Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas
permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk
kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran
telah ditentukan.
Kelonggaran
tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan
terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan
likuiditas.
Pasal 10 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1a)
|
Surat Setoran Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pembayaran, penyetoran
pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran
pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Adanya tata
cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran
pajak dan administrasinya.
Pasal 11 (UU No. 28 Tahun 2007)
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan,
dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak,
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
|
(1a)
|
Kelebihan pembayaran pajak sebagai
akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada
Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak,
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
|
(2)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama
1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan
Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau
sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
|
(3)
|
Apabila pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah
memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan
pengembalian kelebihan.
|
(4)
|
Tata cara
penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak
menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan
pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang
pajak.
Dalam hal Wajib
Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat
maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan
lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih,
dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum
bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian
kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan :
a.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang
pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
|
b.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
c.
|
untuk Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal
17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
d.
|
untuk Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
|
e.
|
untuk Putusan Banding dihitung
sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
|
f.
|
untuk Putusan Peninjauan Kembali
dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan
|
sampai dengan saat diterbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (3)
Untuk
menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan
yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan
saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.